Hukum Perjanjian dan Perjanjian Kredit Bank

  1. A.    Perjanjian Pada Umumnya

Istilah perjanjian (Overeenkomst) menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah “suatu perbuatan dengan nama satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Suatu perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaannya. Supaya perjanjian mempunyai kekuatan hukum, haruslah memenuhi syarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yakni; (1) adanya sepakat dari mereka yang mengikatkan diri, (2) adanya kecakapan untuk membuat perjanjian, (3) adanya suatu hal/obyek tertentu dan (4) adanya suatu sebab yang halal.

    Keempat syarat  perjanjian diatas, merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk syahnya suatu perjanjian, apabila salah satu syarat tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dengan sendirinya batal (nietig). Bilamana kesepakatan terjadi disebabkan karena adanya kesesatan (dwaling), paksaan (dwang) dan penipuan (bedrog) maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan (vernieteg verbaar) kepada hakim dan apabila kesepakatan diberikan dengan secara tidak bebas, sehingg salah satu pihak dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, maka perjanjian itu adalah cacat dan karenanya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang telah memberikan kesepakatannya dengan secara tidak bebas atau oleh orang yang tidak cakap membuat perjanjian tersebut.

      Dari empat syarat perjanjian diatas, dua syarat yang pertama yakni mengenai sepakat dan kecakapan dari para pihak yang mengadakan perjanjian dinamakan syarat subyektif, dinamakan demikian karena berhubungan dengan orang-orangnya atau subyek hukum yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat berikutnya yakni mengenai hal tertentu dan suatu sebab yang halal dinamakan syarat obyektif, oleh karena mengenai isi dari perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan para pihak dalam perjanjian.

      Dilihat dari syahnya, suatu perjanjian dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu

  • Esensialia

Bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta, seperti persetujuan antara para pihak dan obyek perjanjian.

  • Naturalia

Bagian ini merupakan sifat bawaan atau natuur perjanjian yang secara diam-diam melekat pada perjanjian sehingga menjamin tidak cacat benda yang dijual.

  • Aksidentialia

Bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian, dalam hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak. Dalam hukum perjanjian terdapat pula beberapa azas yang dapat dijadikan sebagai pedoman, azas-zas tersebut antara lain terdapat dalam pasal 1320, pasal 1338 ayat 1, 2 dan 3 KUH Perdata

      Pasal 1320 mencerminkan azas konsensualisme, menurut azas ini pada dasarnya untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan kata sepakat, melalui itu perjanjian menjadi mengikat dan tidak perlu lagi suatu formalitas pembuktiannya.

      Pasal 1338 ayat 1 memuat azas kebebasan berkontrak, azas ini menentukan bahwa setiap orang adalah bebas untuk membuat perjanjian berupa dan berisi apa saja, hal ini berarti setiap orang dapat mengadakan perjanjian antara pihak-pihak diluar yang diatur dalam buku III titel IV sampai dengan titel XVIII KUH Perdata. Akan tetapi kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus mentaati hukum yang sifatnya memaksa tersebut, seperti misalnya terhadap pasal 1320 KUH Perdata

      Pasal 1338 ayat 2 memuat azas kekuatan mengikat, pasal ini menyebutkan bahwa persetujuan-persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Dengan demikian, azas ini menetapkan secara tegas bahwa suatu perjanjian akan mengikat para pihak dalam perjanjian yang dibuatnya itu. Penarikan kembali atau pengakhiran oleh salah satu pihak hanyalah mungkin pada perjanjian dimana oleh kedua belah pihak disetujui untuk suatu waktu yang tidak tertentu diizinkan pengakhirannya, dengan tidak usah menyebutkan suatu alasan apapun. Azas kekuatan mengikat ini ada hubungannya dengan pasal 1339 jo.1347 KUH Perdata mengenai kebiasaan dan kepatutan yang secara diam-diam dianggap dalam perjanjian.

      Pasal 1338 ayat 3 memuat azas itikad baik, pasal ini menyebutkan bahwa persetujuan-persetujuan haruslah dilaksanakan dengan itikad baik, artinya perjanjian ditafsirkan sedemikian rupa sehingga dapat dilaksanakan dan diterima semua pihak dan dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu keadilan dan kepastian hukum.

  1. B.    Pemakaian Perjanjian Baku dalam Perjanjian Kredit 

      Pada mulanya, suatu perjanjian terjadi berlandaskan azas kebebasan berkontrak  diantara para pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang dan  berusaha mencapai kesepakatan yang diperlukan bagi terjadinya perjanjian melalui suatu proses negosiasi diantara para pihak.  Namun pada dewasa ini kecenderungan makin memperlihatkan bahwa banyak perjanjian dalam masyarakat terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang diantara para pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang telah dicetak sebelumnya dan kemudian disodorkan kepada pihak lainnya untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainnya untuk melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan tersebut. Perjanjian yang demikian ini dinamakan perjanjian standar atau perjanjian baku atau perjanjian adhesi.

Latar belakang tumbuhnya perjanjian standaard ini adalah keadaan sosial/ekonomi perusahaan yang besar-besar, perusahaan-perusahaan semi pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dengan pihak lainnya dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu secara sepihak untuk diajukan kepada contract-partnernya. Pihak lawannya yang pada umumnya mempunyai kedudukan ekonomi yang lemah baik karena posisinya maupun karena ketidak tahuannya lalu hanya menerima apa yang disodorkan itu. Sedangkan latar belakang lahirnya perjanjian baku pada dunia perbankan di Indonesia berbeda dengan latar belakang lahirnya dengan perjanjian standaard pada umumnya. Jika perjanjian standaard yang umum lahir karena perbedaan sosial ekonomi para pihak, maka perjanjian baku pada perbankan lahir dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan pengusaha ekonomi lemah.

  1. C.    Perjanjian Kredit Bank

    Bagi bank, salah satu dasar yang cukup kuat atas keharusan adanya suatau perjanjian dalam pemberian kredit terhadap nasabahnya, diperoleh dari pasal 1 ayat 11 Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang rumusannya sebagai berikut :

    “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”

    Pencantuman kalimat persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam  dalam rumusan pasal diatas, memiliki maksud-maksud sebagai berikut; (1) bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah debitor yang berbentuk pinjam-meminjam. Dengan demikian bagi hubungan kredit bank belaku Buku Ketiga (tentang Perikatan) pada umumnya dan Bab Ketigbelas (tentang pinjam-meminjam) KUH Perdata pada khususnya, (2) bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian kredit tertulis. Akan tetapi kalau semata-mata hanya dari rumusan ketentuan pasal tersebut, akan sulit menafsirkan bahwa ketentuan tersebut memang mengharuskan agar pemberian kredit bank berdasarkan perjanjian tertulis. Ketentuan undang-undang tersebut harus dikaitkan dengan Instruksi Presedium Kabinet No.15/EK/IN/10/1966 tanggal 3 Oktober 1966 jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No.2/539/ UPK/Pemb. tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No.2/649/UPK/Pemb. tanggal 20 Oktober 1966 serta Instruksi Presidium Kabinet Ampera No. 10/EK/IN/2/1967 tanggal 6 Februari 1967 yang menentukan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun perbankan wajib mempergunakan atau membuat perjanjian kredit tertulis.

  1. Fungsi Perjanjian Kredit Bank Tertulis

Perjanjian kredit perlu mendapat perhatian khusus, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan maupun penatalaksanaan kredit itu sendiri. Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, yaitu diantaranya:

  1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya (misalnya perjanjian pengikatan jaminan).
  2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiaban diantara kreditor dan debitor dan
  3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.
  4. Jenis-jenis Perjanjian Kredit

Secara yuridis ada dua jenis perjanjian kredit yang digunakan bank, yaitu; perjanjian kredit dibawah tangan atau akta dibawah tangan dan perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris (notaril) atau akta otentik

  1. Perjanjian Kredit di Bawah Tangan

Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara mereka (kreditor dan debitor) tanpa notaris. Akta perjanjian kredit dibawah tangan ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain:

(1)     Apabila akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan karena misalnya alasan debitor wanprestasi, maka seandainya debitor yang bersangkutan menyangkal atau memungkiri tandatangannya akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut. Dalam pasal 1877 KUH Perdata disebutkan bahwa jika seseorang memungkiri tulisan  atau tandatangannya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari pada tulisan atau tandatangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan, tentunya hal ini akan merepotkan bank.

(2)     Oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, dimana formulirnya telah disediakan oleh bank (formulir baku), maka ada kemungkinan terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit, bahkan dapat terjadi karena alasan-alasan pelayanan, penandatanganan perjanjian dilakukan walaupun formulir perjanjian masih dalam bentuk blangko kosong, bila terjadi perselisihan, debitor dapat menyangkal menandatangani akta perjanjian tersebut atau mengelak mengakui perjanjian kredit dengan alasan yang bersangkutan menandatangani blangko kosong.

(3)     Apabila akta perjanjian kredit dibawah tangan tersebut hilang karena sebab apapun, maka bank tidak lagi memiliki arsip asli mengenai adanya perjanjian tersebut sebagai alat bukti, keadaan ini akan membuat posisi bank menjadi lemah bila terjadi perselisihan. Berbeda dengan  akta perjanjian kredit  notaril,  walaupun arsip di bank hilang, masih ada arsip lainnya di notaris.

  1. Perjanjian Kredit Notaril

Yang dimaksud dengan perjanjian kredit notaril (otentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau dihadapan notaris. Mengenai definisi akta otentik dapat dilihat pada Pasal 1868 KUH Perdata. Dari ketentuan/definisi akta otentik yang diberikan oleh Pasal 1868 KUH Perdata tersebut, dapat ditemukan beberapa hal sebagai berikut :

(1)     Yang berwenang membuat akta-otentik adalah notaris, terkecuali wewenang tersebut diserahkan pada pejabat lain atau orang lain.

(2)     Pejabat lain yang dapat membuat akta otentik adalah misalnya seorang panitera dalam sidang-pengadilan, seorang juru sita, seorang jaksa atau polisi dalam membuat pemeriksaan pendahuluan, seorang pegawai catatan sipil yang membuat akta kelahiran atau perkawinan, pemerintah dalam membuat peraturan, sedang orang lain adalah yang dikenal sebagai “onbezoldigde-hulpmagistraten” ex pasal 39 (6) HIR yang dapat pula membuat proses verbal suatu akta otentik.

(3)     Jenis akta otentik

(a)    yang dibuat “oleh”, produknya disebut “proses verbal akta” karena prosesnya hanya menulis apa yang dilihat dan yang dialami sendiri oleh seorang notaris tentang perbuatan (handeling) dan kejadian (daadzaken); membaca dan menandatangani hanya bersama para saksi akta tersebut di luar hadirnya atau karena penolakan para penghadap.

(b)   yang dibuat “dihadapan” pejabat umum dengan produk berupa “party akta” prosesnya berupa membaca isi akta tersebut, disusul oleh penandatanganan akta tersebut oleh para penghadap dan para saksi, terakhir oleh notaris itu sendiri.

(4)     Isi akta otentik

(a)    semua “perbuatan” yang oleh undang-undang diwajibkan dibuat dalam akta otentik (jual beli tanah).

(b)   semua “perjanjian” dan “penguasaan” yang dikehendaki oleh mereka yang berkepentingan (perjanjian sewa-menyewa).

(5)     Akta otentik memberikan kepastian mengenai/tentang penanggalan.

Seorang notaris memberi kepastian tentang penanggalan dari pada aktanya yang berarti bahwa ia berkewajiban menyebut dalam akta bersangkutan tahun, bulan dan tanggal pada waktu mana akta tersebut dibuat. Pelanggaran daripada kewajiban tersebut berakibat akta tersebut kehilangan sifat otentiknya dan dengan demikian hanya berkekuatan akta di bawah tangan (pasal 25 S.1860-3) Reglement tentang jabatan notaris di Indonesia.

(6)     Kekuatan pembuktian perjanjian kredit notaril

(a)    Membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tadi (kekuatan pembuktian formil).

(b)   Membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan di situ telah terjadi (kekuatan pembuktian materil atau yang kita namakan kekuatan pembuktian mengikat).

(c)    Membuktikan tidak saja antara pihak yang bersangkutan tetapi juga terhadap pihak ketiga bahwa pada tanggal tersebut dalam akta kedua belah pihak tersebut sudah menghadap di muka notaris dan  menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut (kekuatan pembuktian keluar).

  1. Komposisi Perjanjian Kredit

Komposisi perjanjian kredit pada umumnya terdiri dari 4 bagian, yaitu:

  • Judul

Dalam praktek, judul yang dipergunakan oleh bank-bank bermacam-macam dan setiap bank berlainan. Ada yang menyebutnya sebagai Perjanjian Kredit, Perjanjian Kredit dengan Jaminan, Perjanjian Membuka Kredit, Pengakuan Hutang dengan Jaminan dan lainnya. Judul dalam suatu akta perjanjian kredit mutlak adanya, sehingga setiap orang yang berkepentingan akan dengan mudah mengetahui bahwa akta yang mereka lihat adalah suatu akta perjanjian kredit.

  • Komparisi

Yaitu bagian dari satu akta yang memuat keterangan tentang orang/pihak yang bertindak mengadakan perbuatan hukum. Penuangannya adalah berupa:

(1)     Uraian terperinci tentang identitas, yang meliputi nama, pekerjaan dan domisili para pihak.

(2)     Dasar hukum yang memberi kewenangan yuridis untuk bertindak dari para pihak.

(3)     Kedudukan para pihak.

  • Isi Perjanjian Kredit

Merupakan bagian dari perjanjian kredit yang di dalamnya dimuat hal-hal yang diperjanjikan oleh para pihak. Pada prakteknya, bentuk dan isi perjanjian kredit yang ada saat ini masih berbeda-beda antara satu bank dengan bank lainnya. Namun demikian, pada dasarnya prototype suatu perjanjian kredit harus memenuhi:

(1)     ketentuan mengenai fasilitas kredit yang diberikan, antara lain tentang jumlah maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit dan batas izin tarik.

(2)     suku bunga kredit dan biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian kredit, antara lain bea materai, provisi/commitment fee dan denda kelebihan tarik.

(3)     kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening giro dan atau rekening kredit penerima kredit untuk bunga denda kelebihan tarik dan bunga tunggakan serta segala macam biaya yang timbul karena dan untuk pelaksanaan hal-hal yang ditentukan yang menjadi beban penerima kredit.

(4)     representation  dan warranties, yaitu pernyataan dari penerima kredit atas pembebanan segala harta kekayaan penerima kredit menjadi jaminan guna pelunasan kredit.

(5)     conditions precedents, yaitu tentang syarat-syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh penerima kredit agar dapat menarik kredit untuk pertama kalinya.

(6)     agunan kredit dan asuransi barang-barang agunan.

(7)     affirmative dan negative covenants, yaitu kewajian-kewajiban dan pembatasan tindakan penerima kredit selama masih berlakunya perjanjian kredit.

(8)     tindakan-tindakan bank dalam rangka pengawasan dan penyelamatan kredit.

(9)     events of default/wanprestasi/cidera janji/trigger clause/opeinbaar clause, yaitu tindakan-tindakan bank sewaktu-waktu dapat mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika akan menagih semua utang beserta bunga dan biaya lainnya yang timbul.

  • Penutup

Merupakan bagian atau tempat dimuatnya hal-hal :

(1)     pilihan domisili hukum apabila terjadi pertikaian di dalam penyelesaian kredit antara bank dan nasabah penerima kredit.

(2)     ketentuan mulai berlakunya perjanjian kredit dan penandatanganan perjanjian kredit.

  • Berakhirnya Perjanjian Kredit

Oleh karena perjanjian kredit tunduk pada ketentuan hukum perjanjian (pada umumnya), maka hapus/berakhirnya perjanjian kredit dapat diperlakukan Pasal 1381 KUH Perdata yaitu mengenai hapusnya perikatan. Dari sekian penyebab hapus/berakhirnya perjanjian-perjanjian tersebut dalam pasal 1381, dalam praktek hapus/berakhirnya perjanjian kredit bank, lebih banyak disebabkan oleh:

  • Pembayaran

Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitor, baik pembayaran hutang pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya.  Pembayaran lunas ini, baik karena jatuh tempo kreditnya; atau karena diharuskan debitor melunasi kreditnya secara seketika dan sekaligus (opeibaarheid clause).

  • Subrogasi

Subrogasi oleh pasal 1400 KUH Perdata disebutkan sebagai penggantian hak-hak si berpiutang oleh seorang pihak ketiga yang membayar kepada si berpiutang itu. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa subrogasi dapat terjadi apabila ada penggantian hak-hak oleh seorang pihak ketiga yang mengadakan pembayaran. Pasal 1401 KUH Perdata menentukan bahwa subrogasi ini dapat terjadi dengan persetujuan:

(1)     Apabila siberpiutang dengan menerima pembayaran itu dari seorang pihak ketiga, menetapkan bahwa orang ini akan menggantikan hak-haknya si berpiutang.

(2)     Apabila si berhutang meminjan sejumlah uang untuk melunasi hutangnya, dan menetapkan bahwa orang yang meminjamkan uang itu akan menggantikan hak-hak si berpiutang.

  • Novasi

Yang dimaksud dengan pembaharuan hutang atau novasi disini adalah dibuatnya suatu perjanjian kredit yang baru untuk atau sebagai pengganti perjanjian kredit yang lama. Sehingga dengan demikian yang hapus/berakhir adalah perjanjian kredit yang lama. Oleh Pasal 1413 KUH Perdata disebutkan ada 3 (tiga) jalan yang dapat dilakukan untuk suatu novasi yaitu:

(1)     Apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang yang menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama, yang dihapuskan karenanya.

(2)     Apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.

(3)     Apabila sebagai akibat  suatu persetujuan baru, seorang berpiutang baru ditunjuk untuk mengantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berhutang dibebskan dari perikatannya.

  • Kompensasi

Pada dasarnya kompensasi yang dimaksudkan oleh Pasal 1425 KUH Perdata, adalah suatu keadaan dimana dua orang/pihak saling berhutang satu sama lain, yang selanjutnya para pihak sepakat untuk mengkompensasikan hutang-piutang tersebut, sehingga perikatan hutang itu menjadi hapus. Dalam kondisi demikian ini dijalankan oleh bank, dengan cara mengkompensasikan barang jaminan debitor dengan hutangnya kepada bank, sebesar jumlah jaminan tersebut yang diambil alih tersebut.

 (disarikan dari Pelatihan Analisi Kredit)

Leave a comment

Trent Lewin

Fiction, and other made-up stories

BPR Nusamba Plered

hanya dengan secangkir kopi, kita bisa duduk bersama, berangan beriringan mengejar mimpi. semoga tetap pelangi.